Pijat dan Musik di Batavia

April 08, 2011
Kebanyakan buku harian berisi catatan kegiatan sehari-hari. Buku harian Dr Strehler (Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 van Dr. Strehler. Haarlem: de Wed. A. Lossjes pz. 1833) tidak hanya berisi ungkapan hati penulisnya, tetapi penuh uraian rinci mengenai segala yang dilihat dan dialaminya di Batavia.
Di Batavia, semua orang tidur di antara pukul 13.00-16.00. Bila tidak beristeri, seorang lelaki yang merasa penat namun tak juga dapat tertidur memanggil satu atau dua pembantu wanita untuk memijitnya. Wanita-wanita itu mulai memijit perlahan-lahan.
Di Hindia-Belanda, pijat-memijat merupakan keahlian tersendiri. Pertama-tama, dilakukan apa yang disebut pidjit : lengan, kaki, punggung, leher dan kepala Toean Besar diberi tekanan-tekanan halus. Pidjit diikuti oleh sapoe-sapoe, yaitu gosokan-gosokan halus dengan telapak tangan.
Setelah tubuh Toean Besar rileks, para pembantu itu melanjutkan dengan: gosok-gosok, yaitu menyeka tubuh dengan handuk hangat. Ini diikuti oleh tombok , yaitu tekanan halus dengan kepalan tangan. Tjowit , cubitan-cubitan kecil di kulit dan ramas, yaitu menarik jari-jari kaki dan tangan hingga berderak menutup seluruh rentetan pijat-memijat siang hari itu. Ketika akhirnya, kedua pembantu wanita itu menutup pintu kamar, hanya terdengar dengkur Sang Toean sebagai ucapan terima kasih.
Sore hari, orang bersiap pergi. Pada tahun 1828, setiap hari Kamis dan Sabtu diadakan latihan Korps Musik Militer di depan istana Weltevreden. Setelah matahari terbenam, dari segala arah berdatangan kereta-kereta kuda. Setiap kereta dipenuhi wanita-wanita cantik. Kereta-kereta itu berhenti berdampingan membentuk setengah lingkaran mengitari barisan Korps Musik Militer.
Para penumpang tetap duduk di kereta masing-masing. Kuda-kuda yang ditunggangi oleh prajurit-prajurit tampan sesekali mendekati kereta-kereta yang berisi wanita-wanita cantik. Acara seperti ini merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh nona-nona berbangsa Eropa dan Indo-Eropa untuk memamerkan kecantikan dirinya dan keindahan pakaian serta perhiasan mereka kepada dunia. Dan dunia, (diwakili para lelaki Batavia!) tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati indahnya mahluk ciptaan Tuhan!
Musik yang diperdengarkan tak kalah dengan musik di Eropa. Masyarakat (Eropa dan Indo) di Batavia merangkul pemusik dan seniman dari Eropa. Di negeri sendiri, tidak banyak pemusik yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan keahliannya. Di Batavia, pendidikan musik mahal harganya dan orang bersedia mengeluarkan uang beberapa gulden untuk dapat belajar bermain musik. Suasana di udara terbuka itu terasa menyenangkan. (Frieda Amran, alumni Fakultas Antropologi UI, tinggal di Belanda)
Previous
Next Post »
0 Komentar